VISI : “ TERWUJUDNYA GENERASI CERDAS, BERILMU, DAN BERAKHLAKUL KARIMAH”

MTs Negeri Tanjung Selor

Guru dan Staf

MTs Negeri Tanjung Selor

Upacara Hari Senin

MTs Negeri Tanjung Selor

Kunjungan Bupati Bulungan Pada Pekan Budaya Birau 2012 di Stand Pameran Jajaran Kemenag Kab. Bulungan

MTs Negeri Tanjung Selor

Jl. Kolonel Soetadji (Kompleks Masjid Agung Tanjung Selor

MTs Negeri Tanjung Selor

Masa Orientasi Siswa (MOS) Siswa baru angkatan 2009

MTs Negeri Tanjung Selor

Perpustakaan adalah gudang ilmu

MTs Negeri Tanjung Selor

Pelepasan Siswa Kelas 9 Alumni Tahun 2011

MTs Negeri Tanjung Selor

Prestasi Siswa Pementasan Tari

MTs Negeri Tanjung Selor

Kaligrafi di setiap ruang kelas

MTs Negeri Tanjung Selor

Masa Orientasi Siswa (MOS) Siswa angkatan 2010

MTs Negeri Tanjung Selor

Kunjungan (Monitoring) Irjen dari Jakarta tahun 2010

MTs Negeri Tanjung Selor

Karnafal Birau Bulungan 2010

MTs Negeri Tanjung Selor

Guru dan Siswa

MTs Negeri Tanjung Selor

Berpose sebelum mengikuti Ujian Nasional tahun 2010

MTs Negeri Tanjung Selor

Berpose sebelum mengikuti Ujian Nasional tahun 2010

MTs Negeri Tanjung Selor

Berpose di Hari Kartini bersama wali kelas

MTs Negeri Tanjung Selor

Hari Kartini di Madrasahku

MTs Negeri Tanjung Selor

Kegiatan Belajar

MTs Negeri Tanjung Selor

Senam Jum'at Pagi

Rabu, 01 Juni 2011

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

 A.     Pendahuluan

Psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar (Whiterington, 1982:10). Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak mengherankan apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan belajar.

Karena konsentrasinya pada persoalan belajar, yakni persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka konsumen utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik. Mereka memang dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam menjalankan fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif.

 
 

B.     Mendorong Tindakan Belajar

             Pada umumnya orang beranggapan bahwa pendidik adalah sosok yang memiliki sejumlah besar pengetahuan tertentu, dan berkewajiban menyebarluaskannya kepada orang lain. Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan sebagai sosok yang bertugas mengkonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan yang disampaikan pendidik. Semakin banyak informasi pengetahuan yang mereka serap atau simpan semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan yag mereka dapatkan sebagai individu terdidik.

Anggapan-anggapan seperti ini, meskipun sudah berusia cukup tua, tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi pendidik menjejalkan informasi pengetahuan sebanyak-banyakya kepada subjek didik dan fungsi subjek didik menyerap dan mengingat-ingat keseluruhan  informasi itu, semakin tidak relevan lagi mengingat bahwa pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang dinamis dan tidak terbatas. Dengan kata lain, pengetahuan-pengetahuan (yang dalam perasaan dan pikiran manusia dapat dihimpun) hanya bersifat sementara dan berubah-ubah, tidak mutlak (Goble, 1987 : 46). Gugus pengetahuan yang dikuasai dan disebarluaskan saat ini, secara relatif, mungkin hanya berfungsi untuk saat ini, dan tidak untuk masa lima hingga sepuluh tahun ke depan. Karena itu, tidak banyak artinya menjejalkan informasi pengetahuan kepada subjek didik, apalagi bila hal itu terlepas dari konteks pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Namun demikian bukan berarti fungsi traidisional pendidik untuk menyebarkan informasi pengetahuan harus dipupuskan sama sekali. Fungsi ini, dalam batas-batas tertentu, perlu dipertahankan, tetapi harus dikombinasikan dengan fungsi-fungsi sosial yang lebih luas, yakni membantu subjek didik untuk memadukan informasi-informasi yang terpecah-pecah dan tersebar ke dalam satu falsafah yang utuh. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa menjadi seorang pendidik dewasa ini berarti juga menjadi "penengah" di dalam perjumpaan antara subjek didik dengan himpunan informasi faktual yang setiap hari mengepung kehidupan mereka.

Sebagai penengah, pendidik harus mengetahui dimana letak sumber-sumber informasi pengetahuan tertentu dan mengatur mekanisme perolehannya apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh subjek didik.Dengan perolehan informasi pengetahuan tersebut, pendidik membantu subjek didik untuk mengembangkan kemampuannya mereaksi dunia sekitarnya. Pada momentum inilah tindakan belajar dalam pengertian yang sesungguhya terjadi, yakni ketika subjek didik belajar mengkaji kemampuannya secara realistis dan menerapkannya untuk mencapai kebutuhan-kebutuhannya.

Dari deskripsi di atas terlihat bahwa indikator dari satu tindakan belajar yang berhasil adalah : bila subjek didik telah mengembangkan kemampuannya sendiri. Lebih jauh lagi, bila subjek didik berhasil menemukan dirinya sendiri ; menjadi dirinya sendiri. Faure (1972) menyebutnya sebagai "learning to be".

Adalah tugas pendidik untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya tindakan belajar secara efektif. Kondisi yang kondusif itu tentu lebih dari sekedar memberikan penjelasan tentang hal-hal yang termuat di dalam buku teks, melainkan mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membantu subjek didik dalam upaya mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan (Whiteherington, 1982:77). Inilah fungsi motivator, inspirator dan fasilitator dari seorang pendidik.

 
 

C.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar

Agar fungsi pendidik sebagai motivator, inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan dengan baik, maka pendidik perlu memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar subjek didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas dua bahagian, masing-masing faktor fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud, 1985 :11).

1.   Faktor Fisiologis

Faktor-faktor fisiologis ini mencakup faktor material pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental dan faktor kondisi individual subjek didik.Material pembelajaran turut menentukan bagaimana proses dan hasil belajar yang akan dicapai subjek didik. Karena itu, penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan kesesuaian material pembelajaran dengan tingkat kemampuan subjek didik ; juga melakukan gradasi material pembelajaran dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat lebih kompeks.

Faktor lingkungan, yang meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian. Belajar dalam kondisi alam yang segar selalu lebih efektif dari pada sebaliknya. Demikian pula, belajar padapagi hari selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada sore hari. Sementara itu, lingkungan sosial yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang kondisif bagi proses dan pencapaian hasil belajar yang optimal.

Yang tak kalah pentingnya untuk dipahami adalah faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat keras seperti perlangkapan belajar, alat praktikum, buku teks dan sebagainya sangat berperan sebagai sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya, pendidik harus memahami dan mampu mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini seoptimal mungkin demi efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar.

Faktor fisiologis lainnya yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi individual subjek didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah kesegaran jasmani dan kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi jasmani yang kurang segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai untuk memulai tindakan belajar.

2.   Faktor Psikologis

     Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar      

     jumlahnya banyak sekali, dan masing-masingnya tidak dapat dibahas secara

     terpisah.

Perilaku individu, termasuk perilaku belajar, merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang lahir sebagai hasil akhir saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti perhatian, pengamatan, ingatan, pikiran dan motif.

2.1.   Perhatian

Tentulah dapat diterima bahwa subjek didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar akan memetik hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya kesadaran yang menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui strategi pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material pembelajaran dengan teknik-teknik yang bervariasi dan kreatif, seperti bermain peran (role playing), debat dan sebagainya.

Strategi pemebelajaran seperti ini juga dapat memancing perhatian yang spontan dari subjek didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah, yang muncul dari dorongan-dorongan instingtif untuk mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan untuk mengetahui apa yang terjadi di sebalik keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian psikologi menunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan ingatan yang lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja.

2.2.  Pengamatan

Pengamatan adalah cara pengenalan dunia oleh subjek didik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, pembauan dan pengecapan. Pengamatan merupakan gerbang bai masuknya pengaruh dari luar ke dalam individu subjek didik, dan karena itu pengamatan penting artinya bagi pembelajaran.

Untuk kepentingan pengaturan proses pembelajaran, para pendidik perlu memahami keseluruhan modalitas pengamatan tersebut, dan menetapkan secara analitis manakah di antara unsur-unsur modalitas pengamatan itu yang paling dominan peranannya dalam proses belajar. Kalangan psikologi tampaknya menyepakati bahwa unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata lain, perolehan informasi pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan melalui penglihatan dan pendengaran.

Jika demikian, para pendidik perlu mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di dalam penyajian material pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya penglihatan dan pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan, umpamanya ; bagan, chart, rekaman, slide dan sebagainya.

2.3.  Ingatan

Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima  kesan, (2) menyimpan kesan, dan (3) memproduksi kesan. Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah "ingatan" selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan.

Kecakapan merima kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya.

Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan penampilan bagan, ikhtisar dan sebagainya kesannya akan lebih dalam pada subjek didik. Di samping itu, pengembangan teknik pembelajaran yang mendayagunakan "titian ingatan" juga lebih mengesankan bagi subjek didik, terutama untuk material pembelajaran berupa rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu. Contoh kasus yang menarik adalah mengingat nama-nama kunci nada g (gudeg), d (dan), a (ayam), b (bebek) dan sebagainya.

Hal lain dari ingatan adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama.

Untuk mencapai proporsi yang memadai untuk diingat, menurut kalangan psikolog pendidikan, subjek didik harus mengulang-ulang hal yang dipelajari dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Implikasi pandangan ini dalam proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek didik untuk mengulang atau mengingat kembali material pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah satu submaterial pembelajaran selesai.

Kemampuan resroduksi, yakni pengaktifan atau prosesproduksi ulang hal-hal yang telah dipelajari, tidak kalah menariknya untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal yang telah dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan tertentu subjek didik, misalnya kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian ; atau untuk merespons tantangan-tangan dunia sekitar.

Pendidik dapat mempertajam kemampuan subjek didik dalam hal ini melalui pemberian tugas-tugas mengikhtisarkan material pembelajaran yang telah diberikan.

2.4.  Berfikir

Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam didi seseorang yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada dasarnya adalah proses psikologis dengan tahapan-tahapan berikut : (1) pembentukan pengertian, (2) penjalinan pengertian-pengertian, dan (3) penarikan kesimpulan.

Kemampuan berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang reletif berbeda. Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya. Para pendidik yang memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang "selengkapnya" tentang satu material pembelajaran akan cendrung melemahkan kemampuan subjek didik untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik yang lebih memusatkan pembelajarannya pada pemberian pengertian-pengertian atau konsep-konsep kunci yang fungsional akan mendorong subjek didiknya mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Pembelajaran seperti ni akan menghadirkan tentangan psikologi bagi subjek didik untuk merumuskan kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri.

2.5.  Motif

Motif adalah keadaan dalam diri subjek didik yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Motif boleh jadi timbul dari rangsangan luar, seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat menyelesaikan satu tugas dengan baik. Motif semacam ini sering disebut motif ekstrensik. Tetapi tidak jarang pula motif tumbuh di dalam diri subjek didik sendiri yang disebut motif intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar membaca karena dia memang ingin mengetahui lebih dalam tentang sesuatu.

Dalam konteks belajar, motif intrinsik tentu selalu lebih baik, dan biasanya berjangka panjang. Tetapi dalam keadaan motif intrinsik tidak cukup potensial pada subjek didik, pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motif ini, umpamanya, bisa dihadirkan melalui penciptaan suasana kompetitif di antara individu maupun kelompok subjek didik. Suasana ini akan mendorong subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi yang lain.Namun demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat agar tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif.

Motif ekstrinsik bisa juga dihadirkan melalui siasat "self competition", yakni menghadirkan grafik prestasi individual subjek didik.Melalui grafik ini, setiap subjek didik dapat melihat kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat grafik ini, subjek didik akan terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya tidak berada di bawah prestasi orang lain.

Sumber : http://www.andragogi.com/document/psikologi_pendidikan.htm

Kamis, 19 Mei 2011

Teori Belajar Behavioristik

1. Edward Lee Thorndike (1874 - 1949)

Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R).

Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk bereaksi atau berbuat.

Respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang.

Eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah "trial and error learning atau selecting and connecting lerning" dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.

Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut:

1. Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.

2. Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah laku diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.

3. Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.

Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:

a. Hukum Reaksi Bervariasi (Multiple Response). Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh proses trial dan error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

b. Hukum Sikap (Set/Attitude). Hukum ini menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.

c. Hukum Aktivitas Berat Sebelah (Prepotency of Element), Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon hanya pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).

d. Hukum Respon by Analogy. Hukum ini mengatakan bahwa individu dapat melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama/identik, maka transfer akan makin mudah.

e. Hukum perpindahan asosiasi (Associative Shifting). Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara tertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.

Thorndike mengemukakan revisi hukum belajar antara lain:

1. Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan, saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah.

2. Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.

3. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.

4. Akibat suatu perbuatan dapat menular (spread of effect) baik pada bidang lain maupun pada individu lain.

2. Ivan Petrovich Pavlov (1849 - 1936)

Classic Conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, di mana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.

Urutan kejadian melalui percobaan terhadap anjing:

1. US (unconditioned stimulus) = stimulus asli atau netral: Stimulus tidak dikondisikan yaitu stimulus yang langsung menimbulkan respon, misalnya daging dapat merangsang anjing untuk mengeluarkan air liur.

2. UR (unconditioned respons): disebut perilaku responden (respondent behavior) respon tak bersyarat, yaitu respon yang muncul dengan hadirnya US, yaitu air liur anjing keluar karen anjing melihat daging.

3. CS (conditioning stimulus): stimulus bersyarat, yaitu stimulus yang tidak dapat langsung menimbulkan respon. Agar dapat menimbulkan respon perlu dipasangkan dengan US secara terus-menerus agar menimbulkan respon. Misalnya bunyi bel akan menyebabkan anjing mengeluarkan air liur jika selalu dipasangkan dengan daging.

4. CR (conditioning respons): respons bersyarat, yaitu rerspon yang muncul dengan hadirnya CS, Misalnya: air liur anjing keluar karena anjing mendengar bel.

Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasan dapat diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami (UCS = Unconditional Stimulus = Stimulus yang tidak dikondisikan) dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan (CS = Conditional Stimulus = Stimulus yang dikondisikan). Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan. Dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

3. Burrhus Frederic Skinner (1904 - 1990)

Manajemen kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku (behavior modification)antara lain dengan proses penguatan (reinforcement) yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat.

Operant Conditioning atau pengkondisian operan adalah suatu proses penguatan perilaku operasn (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.

Perilaku operan adalah perilaku yang dipancarkan secara spontan dan bebas Skinner membuat eksperiment sebagai berikut: dalam laboratorium. Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut"Skinner box", yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan, yaitu tombol, alat pembeli makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik.

Karena dorongan lapar (hunger drive), tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shaping.

Unrus terpenting dalam belanja adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu sedangkan penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang.

Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan, dan lain-lain), perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujuim bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A, juara 1 dan sebagainya).

Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda / tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dan lain-lain).

Beberapa prinsip belajar Skinner antara lain:

1. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.

2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.

3. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.

4. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.

5. Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk ini lingkungan perlu diubah, untuk menghindari adanya hukuman.

6. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwalvariable rasio reinforcer.

7. Dalam pembelajaran, digunakan shaping.

Beberapa kekeliruan dalam penerapan teori, Skinner adalah penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk mendiskripsikan siswa menurut Skinner hukuman yang baik adalah anak merasakan sendiri konsekuensi dari perbuatannya misalnya anak perlu mengalami sendiri kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verba maupun fisik seperti : kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk pada siswa.

Selain itu kesalahan dalam reinforcement positif juga terjadi di dalam situasi pendidikan seperti penggunaan rangking juara di kelas yang mengharuskan anak menguasai semua mata pelajaran. Sebaliknya setiap anak diberi penguatan sesuai dengan kemampun yang diperlihatkan sehingga dalam satu kelas terdapat banyak penghargaan sesuai dengan prestasi yang ditunjukkan para siswa; misalnya: penghargaan di bidang bahasa, matematika, fisika, menyanyi, menari, atau olahraga.

4. Robert Gagne (1916 - 2002)

Teori instruksional Gagne adalah "9 kondisi Instruksional" yaitu:

1. Gaining atlention = Mendapatkan perhatian

2. Inform leaner of objectives = Menginformasikan siswa mengenai tujuan yang akan dicapai.

3. Stimulate recall of prerequisite learning = Stimulus kemampuan dasar siswa untuk persiapan belajar.

4. Present new material = Penyajian materi baru.

5. Provide guidance = Menyediakan materi baru.

6. Elicit performance = Memunculkan tindakan.

7. Provide feedback about correctness = Siap memberikan umpan balik langsung terhadap hasil yang baik.

8. Assess performance = Menilai hasil belajar yang ditunjukkan.

9. Echance retention and recall = Meningkatkan proses penyimpanan memori dan mengingat.

Gagne disebut sebagai modern neobehaviourists – mendorong guru untuk merencanakan instruksional pembelajaran agar suasana dan gaya belajar dapat dimodifikasi. Ketrampilan paling rendah menjadi dasar bagi pembentukan kemampuan yang lebih tinggi dalam hirarki ketrampilan intelektual. Guru harus mengetahui kemampuan dasar yang harus disiapkan. Belajar dimulai dari hal yang paling sederhana (belajar signal) dilanjutkan pada yang lebih kompleks (Belajar S-R, rangkaian S-R, asosiasi verbal, diskriminasi, dan belajar konsep) sampai pada tipe belajar yang lebih tinggi (belajar aturan dan pemecahan masalah). Prakteknya gaya belajar tersebut tetap mengacu pada asosiasi stimulus – respon.

5. Albert Bandura (1925 – masih hidup sampai sekarang)

Teori belajar sosial Bandura menunjukkan pentingya proses mengamati dan meniru perilaku, sikap dan reaksi emosi orang lain. Teori ini menjelaskan perilaku manusia dalam, konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan.

Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi adalah:

1. Perhatian (atensi), mencakup peristiwa peniruan (adanya kejelasan, keterlibatan perasaan, tingkat kerumitan, kelaziman, nilai fungsi) dan karakteristik pengamat (kemampuan indra, minat, persepsi, penguatan sebelumnya).

2. Penyimpanan atau proses mengingat, mencakup kode pengkodean simbolik, pengorganisasian pikiran, pengulangan simbol, pengulangan motorik.

3. Reproduksi motorik, mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, keakuratan umpan balik.

4. Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.

Selain itu juga harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat akan lebih baik dengan cara mengkodekan perilaku yang ditiru ke dalam kata-kata, tanda atau gambar daripada hanya observasi sederhana (hanya melihat saja). Sebagai contoh: belajar gerakan tari dari instruktur membutuhkan pengamatan dari berbagai sudut yang dibantu cermin dan langsung ditirukan oleh siswa pada saat itu juga. Kemudian proses meniru akan lebih terbantu jika gerakan tari juga didukung dengan penayangan video, gambar atau intruksi yang ditulis dalam buku.

2. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.

3. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan, tersebut disukai dan dihargai dan perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.

Karena melibatkan atensi, ingatan dan motivasi, teori Bandura dilihat dalam kerangka teori behavior-kognitif. Teori belajar sosial membantu memahami terjadinya perilaku agresi dan penyimpangan psikologi dan bagaimana memodifikasi perilaku. Teori Bandura menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan secara massal. Sebagai contoh: penerapan teori belajar sosial dalam iklan televisi. Iklan selalu menampilkan bintang-bintang yang populer dan disukai masyarakat, hal ini untuk mendorong konsumen agar membeli sabun supaya mempunyai kulit seperti para "bintang" atau minum obat masuk anginnya "orang pintar".

Aplikasi Teori Behavioristik Terhadap Pembelajaran Siswa

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori-teori behavioristik adalah ciri-ciri kuat mendasarinya yaitu:

a. Mementingkan pengaruh lingkungan.

b. Mementingkan bagian-bagian (elementalistik).

c. Mementingkan peranan reaksi.

d. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon.

e. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya.

f. Mementingkan pembentukan kebiasan melalui latihan dan pengulangan.

g. Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan

Kelebihan Teori Belajar Behaviorisme

1. Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui stimulasi.

2. Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.

3. Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu.

4. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati dan jika terjadi kesalahan harus segera diperbaiki.

5. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.

6. Metode behavioristik ini sangat cocok untuk pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, rafleks, daya tahan dan sebagainya contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahragam dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.

Kekurangan Teori Belajar Behavioristi

1. Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.

2. Mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.

3. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru.

4. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.

5. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh begavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.

Selasa, 19 April 2011

Hari Besar dan Pengembangan diri





Pengembangan diri Kaligrafi




Latihan Peng.diri Kaligrafi




Latihan Peng.diri Japin




Latihan Peng.diri Rabbana




Team Peng.diri Japin




Team Peng.diri Rabbana




Cangkul yang dalam ..




Penanaman pohon




Tahun Baru Islam 1430 H




Idul Adha 1429 H




Jalan santai HAB Kemenag thn 2010




Hari amal bakti Kemenag thn 2010




Peringatan Birau





Birau Bulungan 2010





Tahun Baru Islam 1432 H





Tahun Baru Islam 1429 H





Berpose





Tahun Baru Islam 1432 H





           1     2    3         Sebelumnya

Minggu, 17 April 2011

Karakteristik Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

Istilah pendidikan IPS dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih relatif baru digunakan. Pendidikan IPS merupakan padanan dari social studies dalam konteks kurikulum di Amerika Serikat. Istilah tersebut pertama kali digunakan di AS pada tahun 1913 mengadopsi nama lembaga Sosial Studies yang mengembangkan kurikulum di AS (Marsh, 1980; Martoella, 1976).


Kurikulum pendidikan IPS tahun 1994 sebagaimana yang dikatakan oleh Hamid Hasan (1990), merupakan fusi dari berbagai disiplin ilmu, Martoella (1987) mengatakan bahwa pembelajaran Pendidikan IPS lebih menekankan pada aspek "pendidikan" dari pada "transfer konsep", karena dalam pembelajaran pendidikan IPS peserta didik diharapkan memperoleh pemahaman terhadap sejumlah konsep dan mengembangkan serta melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilannya berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. Dengan demikian, pembelajaran pendidikan IPS harus diformulasikannya pada aspek kependidikannya.

Ada 10 konsep social studies dari NCSS, yaitu (1) culture; (2) time, continuity and change; (3) people, places and environments; (4) individual development and identity; (5) individuals, group, and institutions; (6) power, authority and govermance; (7)production, distribution and consumption; (8) science, technology and society; (9) global connections, dan; (10) civic idealsand practices.(NCSS http://www.socialstudies.org/standar/exec.html).

Konsep IPS, yaitu: (1) interaksi, (2) saling ketergantungan, (3) kesinambungan dan perubahan, (4) keragaman/kesamaan/perbedaan, (5) konflik dan konsesus, (6) pola(patron), (7) tempat, (8) kekuasaan (power), (9) nilai kepercayaan, (10) keadilan dan pemerataan, (11) kelangkaan (scarcity), (12) kekhususan, (13) budaya (culture), dan (14) nasionalisme.

Mengenai tujuan ilmu pengetahuan sosial, para ahli sering mengaitkannya dengan berbagai sudut kepentingan dan penekanan dari program pendidikan tersebut, Gross (1978) menyebutkan bahwa tujuan pendidikan IPS adalah untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik dalam kehidupannya di masyarakat, secara tegas ia mengatakan "to prepare students to be well functioning citizens in a democratic society". Tujuan lain dari pendidikan IPS adalah untuk mengembangkan kemampuan  peserta didik menggunakan penalaran dalam mengambil keputusan setiap persoalan yang dihadapinya (Gross, 1978).

Ilmu pengetahuan sosial juga membahas hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Lingkungan masyarakat dimana anak didik tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat, dihadapkan pada berbagai permasalahan yang ada dan terjadi di lingkungan sekitarnya. Pendidikan IPS berusaha membantu peserta didik dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi sehingga akan menjadikannya semakin mengerti dan memahami lingkungan sosial masyarakatnya (Kosasih, 1994).

Pada dasarnya tujuan dari pendidikan IPS adalah untuk mendidik dan memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan lingkungannya, serta berbagai bekal siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berdasarkan pengertian dan tujuan dari pendidikan IPS, tampaknya dibutuhkan suatu pola pembelajaran yang mampu menjembatani tercapainya tujuan tersebut. Kemampuan dan keterampilan guru dalam memilih dan menggunakan berbagai model, metode dan strategi pembelajaran senantiasa terus ditingkatkan (Kosasih, 1994), agar pembelajaran Pendidikan IPS benar-benar mampu mengondisikan upaya pembekalan kemampuan dan keterampilan dasar bagi peserta didik untuk menjadi manusia dan warga negara yang baik. Hal ini dikarenakan pengondisian iklim belajar merupakan aspek penting bagi tercapainya tujuan pendidikan (Azis Wahab, 1986).

Pola pembelajaran pendidikan IPS menekankan pada unsur pendidikan dan pembekalan pada peserta didik. Penekanan pembelajarannya bukan sebatas pada upaya mencecoki atau menjejali peserta didik dengan sejumlah konsep yang bersifat hafalan belaka, melainkan terletak pada upaya agar mereka mampu menjadikan apa yang tekag dipelajarinya sebagai bekal dalam memahami dan ikut serta dalam melakoni kehidupan masyarakat lingkungannya, serta sebagai bekal bagi dirinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Di sinilah sebenarnya penekanan misi dari pendidikan IPS. Oleh karena itu, rancangan pembelajaran guru hendaknya diarahkan dan difokuskan sesuai dengan kondisi dan perkembangan potensi siswa agar pembelajaran yang dilakukan benar-benar berguna dan bermanfaat bagi siswa (Kosasih, 1994; Hamid Hasan, 1996).

Karakteristik mata pembelajaran IPS berbeda dengan disiplin ilmu lain yang bersifat monolitik. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Rumusan Ilmu Pengetahuan Sosial berdasarkan realitas dan fenomena sosial melalui pendekatan interdisipliner.

Geografi, sejarah, dan antropologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki keterpaduan yang tinggi. Pembelajaran geografi memberikan kebulatan wawasan yang berkenaan dengan wilayah-wilayah, sedangkan sejarah memberikan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai periode. Antropologi meliputi studi-studi komparatif yang berkenaan dengan nilai-nilai, kepercayaan, struktur sosial, aktivitas-aktivitas ekonomi, organisasi politik, ekspresi-ekspresi dan spiritual, teknologi, dan benda-benda budaya dari budaya-budaya terpilih. Ilmu politik dan ekonomi tergolong ke dalam ilmu-ilmu tentang kebijakan pada aktivitas-aktivitas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan. Sosiologi dan psikologi sosial merupakan ilmu-ilmu tentang perilaku seperti konsep peran, kelompok, institusi, proses interaksi dan kontrol sosial. Secara intensif konsep-konsep seperti ini digunakan ilmu-ilmu sosial dan studi-studi sosial.

Karateristik mata pelajaran IPS SMA antara lain sebagai berikut.

Tabel 1 Cakupan dalam Pembelajaran IPS(Sumber: Sardiman, 2004)

Cakupan

Ruang

Waktu

Nilai/Norma

Area dan substansi pembelajaran

Alam sebagai tempat dan penyedia potensi sumber daya

Alam dan kehidupan yang selalu berproses, masa lalu, saat ini, dan yang akan dating

Acuan sikap dan perilaku manusia berpa kaidah atau aturan yang menjadi perekat dan penjamin keharmonisan kehidupan manusia dan alam

Contoh Kompetensi Dasar yang dikembangkan

Adaptasi spasial dan eksploratif

Berpikir kronologis, prospektif, antisipatif

Konsisten dengan aturan yang disepakati dan kaidah alamiah masing-masing disiplin ilmu

Alternatif penyajian dalam mata pelajaran

Geografi

Sejarah

Ekonomi, Sosiologi/ Antropologi

Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat.

Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pembelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut (Awan Mutakin, 1998).

===============

Sumber Diambil dari:

Direktorat Tenaga Pendidik  Dirjen PMPTK Depdiknas. 2008. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Pengathuan Sosial. Jakarta.

Kontribusi Psikologi terhadap Pendidikan

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa sudah sejak lama bidang psikologi pendidikan telah digunakan sebagai landasan dalam pengembangan teori dan praktek pendidikan dan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pendidikan, diantaranya terhadap pengembangan kurikulum, sistem pembelajaran dan sistem penilaian.

1. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum.

Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar mengajar. Terlepas dari berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, pada intinya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in put, proses dan out pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik.
Secara psikologis, manusia merupakan individu yang unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu, baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan serta karakterisktik-karakteristik individu lainnya.
Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject matter maupun metode penyampaiannya.
Secara khusus, dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, kurikulum yang dikembangkan saat ini adalah kurikulum berbasis kompetensi, yang pada intinya menekankan pada upaya pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dengan demikian dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, kajian psikologis terutama berkenaan dengan aspek-aspek: (1) kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; (2) pengalaman belajar siswa; (3) hasil belajar (learning outcomes), dan (4) standarisasi kemampuan siswa

2. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Pembelajaran

Kajian psikologi pendidikan telah melahirkan berbagai teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita mengenal adanya sejumlah teori dalam pembelajaran, seperti : teori classical conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt, teori daya, teori kognitif dan teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas dari kontroversi yang menyertai kelemahan dari masing masing teori tersebut, pada kenyataannya teori-teori tersebut telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam proses pembelajaran.
Di samping itu, kajian psikologi pendidikan telah melahirkan pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi kegiatan pembelajaran Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan tiga belas prinsip dalam belajar, yakni :

  1. Agar seorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan
  2. Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan oleh orang lain.
  3. Orang itu harus bersedia mengalami bermacam-macam kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
  4. Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
  5. Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula hasil sambilan.
  6. Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.
  7. Seseorang belajar sebagai keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual namun termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
  8. Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
  9. Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari harus benar-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal fakta lepas secara verbalistis.
  10. Disamping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain.
  11. Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
  12. Ulangan dan latihan perlu akan tetapi harus didahului oleh pemahaman.
  13. Belajar hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.

3. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Penilaian

Penilaiain pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melaui kajian psikologis kita dapat memahami perkembangan perilaku apa saja yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu.
Di samping itu, kajian psikologis telah memberikan sumbangan nyata dalam pengukuran potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik, terutama setelah dikembangkannya berbagai tes psikologis, baik untuk mengukur tingkat kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu lainnya.Kita mengenal sejumlah tes psikologis yang saat ini masih banyak digunakan untuk mengukur potensi seorang individu, seperti Multiple Aptitude Test (MAT), Differensial Aptitude Tes (DAT), EPPS dan alat ukur lainnya.
Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis, memiliki arti penting bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yang bersangkutan sehingga pada gilirannya dapat dicapai perkembangan individu yang optimal.

Oleh karena itu, betapa pentingnya penguasaan psikologi pendidikan bagi kalangan guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

Selasa, 12 April 2011

7 Elemen Sukses Mengajar

  1. Saya sebagai guru. Guru yang  menentukan hasil yang akan dicapai dari sebuah pembelajan. Keberhasilan sebuah pembelajaran ada di tangan guru.
  2. Outcome. Mengetahui segala situasi, hasil akhir apa yang harus kita capai.
  3. Peka. Menggunakan semua indera kita untuk peka akan apa yang siswa inginkan.
  4. Fleksibel. Fokus pada manfaat. Feedback yang didapatkan dari peserta didik menyebabkan kita mampu untuk membuat penyesuaian yang diperlukan.Jika apa yang kita lakukan belum memberikan apa yang kita inginkan, ubahlah apa yang kita lakukan.
  5. Rapport. Hubungan yang harmonis dengan semua sistem.
  6. Presupposisi. Menggunakan prinsip-prinsip berpikir dan berprilaku yang bermanfaat untuk mencapai apa yang kita inginkan.
  7. Kongruensi. Melakukan yang dipikirkan, mengatakan sesuai yang dipikirkan.Bersikap profesional dan menjaga harmonisasi antara apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan.Makna dari komunikasi adalah respon yang Anda dapat. Setiap orang mempunyai model dunia  masing -masing yang unik, yang patut dihormati.Penolakan adalah tanda kurangnya rapport,manusia tidak bisa tidak berkomunikasi.Saya yang menciptakan realitas saya sendiri. Saat saya tidak mencapai yang saya inginkan, saya ubah pendekatan saya. Saya yang bertanggung jawab terhadap bagaimana orang merespon saya.Semoga Sukses yes....yes...yes.

Senin, 04 April 2011

Mengaktifkan siswa dalam PBM


Konsep pembelajaran adalah guru menciptakan situasi agar siswa belajar, bagaimana pun baiknya guru mengajar apabila tidak terjadi proses belajar pada siswa, maka pengajarannya dianggap tidak berhasil.Meskipun metode yang digunakan sederhana, tetapi mendorong para siswa banyak belajar maka pengajarannya tersebut dianggap berhasil (efektif). Gurulah yang paling tahu, gurulah yang paling benar itu hanyalah sebuah mitos.Guru jangan mengambil pekerjaan siswa akibatnya siswa jadi malas berpikir.Dalam PBM guru tidak boleh memonopoli melainkan melibatkan siswa belajar.Guru tidak boleh menggurui melainkan mendampingi siswa belajar.Peran utama guru adalah mengusahakan agar setiap siswa dapat berinteraksi secara aktif dengan berbagai sumber belajar yang ada (siswa menemukan sendiri, bukan apa kata guru. menyiapkan strategi daripada memberi informasi.
Oleh : Sriyanti, S.Pd

Rabu, 23 Maret 2011

Form Biodata Alumni MTsN Tanjung Selor

Selasa, 08 Maret 2011

Pendidikan Agama di Otonomi Daerah

KEBIJAKSANAAN DEPAG RI DI BIDANG
PENDIDIKAN DALAM MENGHADAPI
OTONOMI DAERAH

Oleh:
Arief Furchan i



Dengan diundangkannya UU No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadilah perubahan mendasar dalam hubungan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Hampir seluruh kewenangan pemerintahan yang sebelumnya (sebelum diundangkannya UU tersebut) berada di tangan Pemerintah Pusat kini dialihkan (dilimpahkan) ke Pemerintah Daerah. Inilah yang kemudian di kenal secara umum sebagai Otonomi Daerah yang, oleh beberapa orang disebut sebagai tidak tepat. Menurut orang-orang tersebut, istilah yang benar adalah Desentralisasi.

Menurut Pasal 7 UU tersebut, “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama, serta kewenangan bidang lain.ii Sedangkan bidang lain yang dimaksud “… meliputi kebijakan tenang perencanaan nasional dan pengendalian pembanguan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, system administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknlogi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.iii

Dari pasal tersebut di atas, dapat dilihat bahwa hanya lima bidang itulah yang tidak berada dalam wewenang Pemerintah Daerah. Artinya, lima bidang tersebut tetap menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Istilah umumnya, ke lima bidang tersebut tidak didesentralisaikan (diotonomkan). Agama termasuk dalam lima bidang yang wewenangnya tidak diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Itulah sebabnya maka, ketika banyak departemen sibuk merestrukturisasi dan merampingkan departemennya serta menyerahkan sebagian (besar) pegawainya ke Pemerintah Daerah, Departemen Agama tidak melakukan hal itu. Sebaliknya, Departemen Pendidikan, karena pendidikan tidak termasuk lima bidang yang tetap menjadi wewenang Pemerintah Pusat, termasuk ikut sibuk merestrukturisasi departemennya menjadi lebih ramping dan memindahkan sebagian besar pegawainya (terutama guru) ke Pemerintah Daerah. Hal ini dikarenakan Pasal 8 UU tersebut mengatakan bahwa “Kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai denan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.”iv

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ‘Bagaimana dengan Pendidikan Agama?’ Apakah dia termasuk bidang Pendidikan (dus, harus diserahkan ke Pemerintah Daerah) ataukah termasuk dalam bidang Agama (dus, tetap menjadi wewenang Pemerintah Pusat)? Bagaimana Departemen Agama dalam hal ini?

Dalam masalah ini, perlu diketahui bahwa Pendidikan Agama yang diurus oleh Departemen Agama (dalam hal ini Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam) ada dua macam: (1) Pendidikan Agama (sebagai mata pelajaran) yang diberikan di Sekolah Umum; dan (2) Pendidikan Agama dalam bentuk kelembagaan seperti madrasah dan pondok pesantren.

Dalam hal Pendidikan Agama di Sekolah Umum, wewenang yang selama ini dimiliki oleh Departemen Agama adalah dalam menentukan isi kurikulum Pendidikan Agama yang harus diberikan kepada siswa, pengangkatan guru agama (dulu pernah diserahkan kepada Depdikbud/Depdiknas), dan pelatihan guru agama (dalam bentuk pre- maupun in- service training). Penempatan guru agama dan penentuan jumlah jam pelajaran agama diserahkan kepada Depdiknas. Sementara itu, dalam hal Madrasah (terutama Madrasah Negeri), wewenang (kewajiban) Depag adalah menetapkan kurikulum (termasuk alokasi jam pelajaran), menyediakan gedung dan fasilitas belajar, menyediakan dana operasional dan gaji pegawai, membina pegawai yang ada di madrasah itu (termasuk kepala madrasahnya).

Untuk merespon UU No. 22 Tahun 1999 ini, pada tanggal 21 Nopember 2000 Menteri Agama telah mengirim surat bernomor MA/402/2000 kepada Mendagriv yang isinya menyerahkan sebagian dari kewenangan yang ada pada Menteri Agama dalam bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan kepada Pemerintah Daerah. Adapun kewenangan yang diserahkan menyangkut aspek-aspek:
1. Operasional Penyelenggaraan;
2. Penjabaran kurikulum;
3. Penyediaan tenaga pendidikan;
4. Penyediaan sarana dan prasarana;
5. Penyediaan Anggaran.
Berdasarkan pasal 8 ayat (1), maka penyerahan wewenang ini akan disertai dengan penyerahan segala asset (gedung, tanah, alat-alat kantor, dsb.) serta sumber daya manusia (guru dan pegawai) serta dana operasional yang selama ini diberikan ke madrasah.

Kebijakan Menag ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain, adalah demi kemaslahatan madrasah yang bersangkutan. UU No. 22 Th. 1999 ini diikuti dengan UU No. 25 Th. 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Ini berarti akan semakin banyak dana (yang semula berada di Pusat) yang akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Otonomi Daerah juga mengarah kepada sistem politik yang mengharuskan Pemda lebih memperhatikan aspirasi rakyat di daerahnya daripada kemauan Pemerintah Pusat. DPRD, sebagai cerminan perwakilan rakyat di daerah itu, mempunyai wewenang dan posisi yang lebih besar daripada yang selama ini kita kenalvi. Menyadari bahwa dana yang dipegang Depag untuk pengembangan Pendidikan Agama (terutama madrasah) selama ini masih amat sangat kurang, maka Menteri Agama tidak ingin pengembangan Pendidikan Agama (terutama madrasah) di daerah tidak mendapatkan dana dari Pemda hanya karena Pendidikan Agama tidak diserahkan ke Pemerintah Daerah.

Tanggapan atas surat ini amat beragam. Beberapa Kanwil Depag mengadakan rapat dan ada yang menolak dan ada yang menerima kebijakan ini. Demikian pula dengan Pemda. Tercatat Kanwil Depag Jawa Timur secara lisan menyatakan bahwa rapat di kalangan mereka meminta agar kebijakan ini dicabut. Kanwil Depag Jawa Tengah meminta agar penyerahan wewenang ini dalam kerangka dekonsentrasi, bukan desentralisasi. Kanwil Depag Kalsel meminta para Kandepag agar memperjuangkan adanya Dinas Perguruan Agama Islam di tiap Kabupaten/Kota.

Di fihak Pemda dilaporkan bahwa ada Pemda yang menerima (misalnya Madura dan beberapa Kabupaten/kota di Jawa Timur) namun ada juga yang menolak. Di Jawa Barat, misalnya, dilaporkan bahwa 15 Pemda Kabupaten/Kota positif menerima penyerahan wewenang tersebut dan memasukkan satu/dua sub-dinas dalam Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten/Kota; 13 Pemda masih pikir-pikir, dan satu merasa keberatan.

Dalam menanggapi reaksi yang beragam ini Depag mengambil sikap yang luwes (flexible). Dalam dengar pendapat DPR dengan Menteri Agama baru-baru ini, Menteri Agama menyerahkan sepenuhnya kepada Pemda. Bagi Pemda yang sudah siap untuk menerima penyerahan Pendidikan Agama di daerahnya, maka Pendidikan Agama itu akan diserahkan kepada Pemda. Sebaliknya, bagi Pemda yang berkeberatan atau belum siap untuk menerima penyerahan Pendidikan Agama di daerahnya, maka Pendidikan Agama itu akan tetap menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Pusat. Tentu saja, hal ini juga akan terpulang kepada masyarakat agama di daerah yang bersangkutan sebagai salah satu fihak yang berkepentingan (stakeholders). Apabila mereka menganggap bahwa penyerahan kewenangan di bidang Pendidikan Agama ke Pemda itu lebih bermanfaat bagi mereka, mereka dapat (dan harus) memperjuangkannya ke Pemda maupun ke Pemerintah Pusat (dalam hal ini Depag). Depag telah membukakan pintu untuk itu.

Dalam kaitannya dengan Pendidikan Keagamaan (madrasah) swasta, tampaknya diserahkan atau tidaknya kewenangan di bidang Pendidikan Agama ini tidak banyak pengaruhnya. Hal ini mengingat asset yang diserahkan ke Pemda itu adalah asset yang semula dimiliki oleh Pemerintah Pusat seperti guru negeri, tanah dan gedung yang dibangun dengan dana dari Pemerintah Pusat, dsb. Penetapan kurikulum nasional, pengukuran standar pencapaian kurikulum nasional, masih tetap dipegang oleh Pemerintah Pusat. Lembaga Pendidikan Keagamaan (madrasah) swasta selama ini memiliki asetnya sendiri dan itu tidak akan diserahkan ke Pemda. Di era desentralisasi ini, madrasah swasta, terutama di daerah yang dimenangkan oleh Partai yang didukung oleh masyarakat Muslim, akan lebih mudah mencari dukungan Pemda untuk mengembangkan madrasahnya. Karena sekarang penyusunan anggaran dilakukan oleh DPR bersama pemerintah, maka masyarakat pendukung madrasah ini dapat menuntut kepada para wakilnya agar memperjuangkan dinaikkannya anggaran madrasah untuk daerah itu. Apalagi kalau nanti pemilihan anggota DPR itu dilakukan secara langsung perorangan, tidak memilih partai seperti sekarang inivii.

Penutup

Dengan diberlakukannya otonomi daerah, diharapkan kemajuan daerah itu di segala bidang akan makin cepat. Demikian pula halnya dengan masalah Pendidikan Agama. Dengan otonomi daerah diharapkan perkembangan dan arah Pendidikan Agama di suatu daerah akan lebih sesuai dengan harapan dan aspirasi masyarakat agama di daerah itu. Tentu saja ini akan lebih memudahkan bagi madrasah di daerah yang selama ini harus berurusan dengan Pemerintah Pusat di Jakarta untuk mengembangkan madrasahnya. Kini, mereka cukup berurusan dengan Bupati/Walikota untuk masalah itu. Kebijakan yang diambil Menteri Agama adalah memberi peluang kepada para pengelola madrasah untuk mendapatkan yang terbaik bagi madrasahnya.


Bahan bacaan:
UU No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah

i Sekretaris Ditjen Binbaga Islam, Depag RI.
ii UU No. 22 Pasal 7 ayat (1).
iii UU No. 22 Pasal 7 ayat (2).
iv UU No. 22 Pasal 8 ayat (1).

Sumber: http://pendidikanislam.net

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More